• Jum. Sep 20th, 2024

Sebalik Prestise Adipura, Ternyata Ada Kepala Daerah Pernah Terjerat Hukum

Byadmin

Mar 6, 2023

AMANAT DUMAI – Kota Dumai baru saja dinobatkan sebagai salah satu Daerah penerima Adipura tahun 2022 kategori kota sedang. Penobatan diberikan langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar di Gedung Manggala Wana Bakti, Kementerian LHK, Jakarta pada Selasa, (28/02/2023) kemarin. Turut hadir Ketua Dewan Pertimbangan Adipura Sarwono Kusumaatmadja.

Pencapaian Adipura biasanya menjadi dambaan bagi kepala daerah yang sedang berkuasa. Karena gelaran tersebut bisa menambah prestise bagi dirinya sendiri maupun daerah yang dipimpinnya.

Sehingga tidak mengherankan jika pemimpin daerah terkadang seperti berlomba untuk mendapatkannya. Seyogyanya Pemerintah Daerah dan masyarakat Dumai merasa bangga dengan gelaran Adipura untuk pertama kalinya.

Namun disebalik kebanggan dan prestisius sebuah Adipura ada cerita tak sedap pernah mengiringi. Karena berambisinya mendapatkan berbagai cara dilakukan dan pada akhirnya tersandung kasus hukum. Meski kejadiannya telah lama berlaku namun sekedar mengingat dan siapa bisa menjamin kejadian serupa tidak terulang.

Mengutip pemberitaan detikNews rilis Selasa, 06 November 2012 dengan judul Kontroversi Adipura, Dari Suap Hingga Kebersihan Pura-pura. Berikut ulasan beritanya awak media sitat secara lengkap sebagaimana aslinya.

Jakarta – Semua daerah di Indonesia bernafsu untuk mendapat penghargaan kota terbersih alias Piala Adipura. Sebagian ada yang benar-benar layak mendapatkannya. Namun sebagian lagi menggunakan cara-cara yang ‘kotor’.

Suap,adalah praktik ilegal pertama yang ditemukan dalam penilaian Adipura. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2011 menemukan adanya aliran dana tak wajar dari Pemkot Bekasi yang dipimpin oleh Mochtar Muhammad ke panitia Adipura.

Saat disidang, Mochtar didakwa dengan empat perkara sekaligus. Yakni, suap Piala Adipura 2010, penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bekasi, serta suap kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan penyalahgunaan anggaran makan-minum. Total kerugian negara yang ditimbulkan sebesar Rp 5,5 miliar.

Kasus ini bergulir hingga tingkat kasasi di MA. MA pun memvonis Mochtar dengan penjara selama 6 tahun. Politikus PDIP ini terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi Rp 5,5 miliar secara berkelanjutan.

Temuan lain adalah kebersihan pura-pura. Di Pasar Minggu Jakarta Selatan, ada program pembersihan PKL yang berjualan di trotoar. Sayang, kegiatan positif itu hanya satu hari saja. Pada malam harinya, para pedagang bisa berjualan bebas tanpa ada larangan.

Rupanya, program bersih-bersih itu hanya untuk memuaskan juri penilai Adipura. Kebetulan, mereka memang menilai Pasar Minggu pada Senin (5/11) kemarin.

Aktivis Walhi DKI Jakarta Ubaidillah menilai, dua contoh kasus di atas menjadi gambaran bahwa penilaian Piala Adipura harus dievaluasi. Sebab, ajang tersebut yang dibuat sedianya untuk menambah motivasi kebersihan, kini berubah menjadi komoditas politik dan proyek.

“Sekarang cuma seremoni saja, proyek bagi pusat dan daerah,” ujar Ubaidillah saat berbincang lewat telepon, Selasa (6/11/2012).

Proses penilaian yang terbuka, tak mendidik bagi daerah. Seharusnya sidak dilakukan secara rahasia, tanpa pemberitahuan apa pun.

“Saya kira ini perlu dievaluasi, walau sudah meningkat kriterianya,” terangnya.

“Adipura harus mengacu pada model semacam Kalpataru, artinya yang harus diberi penghargaan orang atau kelompok yang berjuang sama lingkungan,” sambungnya.

Lebih lanjut, Ubai mengingatkan agar ajang Adipura jangan sampai menjadi komoditas politik.

“Misalnya Jakarta dapat empat Adipura tahun lalu, bisa jadi menjelang Pilkada,” imbuhnya.

Narasi diatas bisa memberi pemahaman bagi kita semua bahwa terkadang sesuatu diperoleh tidaklah sebagaimana adanya. Sebuah peristiwa pada awalnya terlihat prestise ternyata endingnya sangat memilukan.

Kebanggaan dan kemasyuran diperoleh berubah menjadi sebuah jeratan hukum dan sejarah kelam bagi pemimpin serta Daerah tersebut. Semoga catatan Redaksi ini dapat menambah pengetahuan pembaca, bahwa pernah ada noda hitam dilakukan oleh seorang penguasa demi sebuah gelaran Adipura.***(Red)

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *